Posts from the ‘Cerpen’ Category

Kupu-Kupu Tidur

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan “tenang” ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

“Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya.”

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

“Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar.”

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya “Tuhan”.

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

“Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual.” Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

“Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu.” Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

“Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir.”

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.

Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.

Bekas Luka di Jidatnya

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh, dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

“Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua malam untuk pulang?”

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal dari seekor babi hutan yang masih muda.
“Kalau itu urusan kecil,” kata lelaki itu.

Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat, perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan, “Bapak kan boleh makan abon, ya?” Lalu dengan enaknya dia menyantap abon yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri. Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
“Ada yang bebainan ,” teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima. Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak memberikan pertolongan.
“Aduh!” teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
“Pak Man bebainan juga!” teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar, dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning, bunga-bunga, dan sebaris doa.
“Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan.”

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa yang tiba-tiba sakit perut.
“Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman,” kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut. Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun. Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
“Ini pasti babi hutan,” pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

“Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku,” keluhnya, sementara istrinya minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu, dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak berkata apa, tak bergerak.
“Tidak!!!”
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi hutan seekor pun.
“Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak wilayah tenget itu,” katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya, ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
“Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?”
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya tertelan ke dalam perutnya.
“Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak menjalani siksa seumur hidupnya?”

“Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka? Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang Sumbi?”
“Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?” ***

PERADILAN RAKYAT

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

“Tapi aku datang tidak sebagai putramu,” kata pengacara muda itu, “aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini.”

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

“Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?”
Pengacara muda tertegun. “Ayahanda bertanya kepadaku?”
“Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini.”
Pengacara muda itu tersenyum.
“Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku.”

“Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu.”

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

“Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri.”

Pengacara tua itu meringis.
“Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.”
“Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!”
Pengacara tua itu tertawa.
“Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!” potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

“Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,” sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.”

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

“Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”
“Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya.”

“Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini.”

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

“Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya.”

“Lalu kamu terima?” potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
“Bagaimana Anda tahu?”

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: “Sebab aku kenal siapa kamu.”

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
“Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
“Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?”
“Antara lain.”
“Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku.”
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
“Jadi langkahku sudah benar?”
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

“Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?”
“Tidak! Sama sekali tidak!”
“Bukan juga karena uang?!”
“Bukan!”
“Lalu karena apa?”
Pengacara muda itu tersenyum.
“Karena aku akan membelanya.”
“Supaya dia menang?”

“Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku.”
Pengacara tua termenung.
“Apa jawabanku salah?”
Orang tua itu menggeleng.

“Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang.”

“Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan.”

“Tapi kamu akan menang.”
“Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.”

“Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini.”

Pengacara muda itu tertawa kecil.
“Itu pujian atau peringatan?”
“Pujian.”
“Asal Anda jujur saja.”
“Aku jujur.”
“Betul?”
“Betul!”

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
“Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?”

“Bukan! Kenapa mesti takut?!”
“Mereka tidak mengancam kamu?”
“Mengacam bagaimana?”
“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?”

“Tidak.”
Pengacara tua itu terkejut.
“Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?”
“Tidak.”
“Wah! Itu tidak profesional!”
Pengacara muda itu tertawa.
“Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!”
“Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?”
Pengacara muda itu terdiam.
“Bagaimana kalau dia sampai menang?”
“Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!”
“Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?”
Pengacara muda itu tak menjawab.
“Berarti ya!”
“Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!”

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

“Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.”
“Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut.”

“Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?”

“Betul.”
“Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional.”

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
“Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia.”

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

“Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.”
“Tapi…”

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
“Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam.”

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

“Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai.”

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

“Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku,” rintihnya dengan amat sedih, “Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?” ***

Kamar Belakang…

SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat, buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara Nastiti. Wiguno jadi penasaran tak yakin jika istrinya sudah pulang. Anak-anak muda Karang Taruna suka nyelonong masuk rumah memberi undangan. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

“Sstt! Jangan cari perkara!” Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
Wiguno urung melangkah, menatap Sawitri yang sibuk mengenakan kutang. Ada kecewa di mata Wiguno. Ada hasrat yang belum lunas. “Kita belum selesai…” Wiguno menelan ludah.

“Edan, kamu!”
“Tenang. Paling cuma anak-anak ngasih undangan. Mereka sudah pergi…” Meski belum terlalu yakin dengan dugaannya, Wiguno berusaha meyakinkan Sawitri. Tatap matanya berubah serius. Sawitri menarik napas dalam-dalam tak begitu yakin dengan ucapan Wiguno. Sawitri masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Tapi setelah berpikir beberapa saat, dengan isyarat mata akhirnya Sawitri menyuruh Wiguno keluar. Entah, giliran Wiguno yang tiba-tiba ragu.

Lama Wiguno berdiri di depan pintu kamarnya, merapikan rambut dan mencoba bersikap wajar, sebelum kakinya bersijingkat menghampiri kamar depan. Pelan dan hati-hati langkah Wiguno takut menimbulkan bunyi. Takut Nastiti benar-benar sudah pulang. Tapi rumah itu sangat sepi hingga Wiguno bisa mendengar aliran napasnya sendiri. Wiguno terus melangkah. Kali ini lebih pelan.

Pintu kamar depan tidak ditutup rapat. Wiguno melongok dan jantungnya hampir lepas. Di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wajahnya letih, sayu. Tas kerjanya jatuh di lantai hingga benda-benda di dalamnya berserak. Wiguno segera tahu, istrinya sedang tak enak badan sehingga pulang lebih cepat. Wiguno juga hapal, istrinya belum lama tidur dan bangunnya pasti lama. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ada hasrat yang belum tuntas.

Sawitri kaget tiba-tiba Wiguno menyergap dari belakang. Dengus napasnya liar. Matanya menyala. Sawitri heran, tak biasanya Wiguno bersikap kasar dan buru-buru. Tapi Sawitri tak bisa berkelit. Tak boleh menjerit. Berkali-kali Wiguno memberi isyarat agar jangan bersuara terlalu keras. Wiguno membopong tubuh Sawitri, dihempas ke atas ranjang. Melucuti pakaiannya seperti kesetanan. Augh!
***
NASTITI bangun mendengar suara sepeda motor masuk halaman. Bangkit dari ranjang, Nastiti merasakan badannya jauh lebih enak. Ia segera mengintip gordyn jendela melihat siapa yang datang. Tampak di halaman, Palastra, teman sesama guru di SMP sedang memarkir sepeda motor. Nastiti cepat-cepat menyisir rambutnya yang kusut. Lalu, setengah berlari menghampiri pintu depan, persis bersamaan Palastra mengetuk pintu.

“O, Pak Palastra. Mari, mari, masuk.” Nastiti tersenyum ramah, membuka pintu mempersilahkan Palastra masuk.
Palastra yang berdiri di depan pintu sedikit grogi melihat senyum ramah Nastiti. Ia tak menduga Nastiti sendiri yang akan membuka pintu, menyambutnya. Tapi memang, diam-diam sudah lama ia memendam kagum pada Nastiti. Mungkin sejak pertama kali bertemu, saat Nastiti mulai mengajar sebagai guru honorer. Selalu ada perasaan aneh menyusup dalam jantungnya. Apalagi ketika teman-teman sesama guru suka meledek bahwa Nastiti sangat mirip dengan mendiang istrinya yang sudah meninggal empat tahun lalu.

“Ehm….Tidak usah. Di sini saja. Saya hanya mengantar hasil ulangan anak-anak…” Palastra benar-benar belum bisa menguasai groginya, menyerahkan setumpuk kertas hasil ulangan pada Nastiti. Tangannya gemetar, berkeringat.

“Aduh, saya jadi merepotkan,” ucap Nastiti merasa bersalah.
“Tidak apa-apa. Tadi sebenarnya mau saya bawa pulang ke rumah. Saya takut Bu Nastiti belum sembuh. Tapi saya lihat Bu Nastiti sudah baikan. Mudah-mudahan besok sudah bisa mengajar.” Berkata demikian, Palastra merogoh saku celana, agak buru-buru, mengeluarkan kunci sepeda motor. “Sekarang saya permisi dulu. Sudah sore….”

Nastiti hanya mengangguk-angguk, tak sempat menjawab. Laki-laki itu keburu memutar badannya berjalan menghampiri sepeda motor. Nastiti terus menatap Palastra hingga sepeda motor yang dikendarainya bergerak meninggalkan halaman rumah. Nastiti bukannya tidak tahu, tadi Palastra grogi berhadapan dengan dirinya. Ah, bukan hanya tadi saja, tapi selalu dalam setiap pertemuan.

Nastiti sering merasa kasihan pada Palastra yang ramah dan baik hati. Berkali-kali Palastra membantu dirinya. Apalagi setelah mendengar cerita dari para guru tentang masa lalu Palastra. Nastiti jadi semakin bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap di depan guru matematika kelas tiga yang masih cukup muda dan tampan itu. Nastiti sadar, sangat sadar, sesekali dirinya juga grogi dan salah tingkah setiap kali Palastra menatapnya dari kejauhan. Tatapan Palastra begitu dalam.
***
SAWITRI buru-buru membalikkan badannya menghadap tembok, pura-pura tidur, ketika mendengar langkah kaki Muntar, suaminya, berjalan menuju kamar. Sejak nonton tv sore tadi, Sawitri sudah bisa membaca gelagat laki-laki itu. Selalu ada maunya setiap kali beli makanan banyak. Apalagi malam Minggu. Muntar bisa begadang sampai pagi, melakukannya berkali-kali.

Sampai di kamar, Muntar kecewa melihat Sawitri sudah tidur. Muntar ikut rebah di sebelah Sawitri, tapi matanya hanya merem melek tak kunjung bisa tidur. Berkali-kali Muntar hendak membangunkan Sawitri, tapi selalu ragu. Dalam hati Muntar heran, tak biasanya Sawitri tidur sore. Apalagi malam Minggu. Muntar terus menatap Sawitri yang tidur di sebelahnya hingga lama-lama timbul keberanian untuk membangunkan Sawitri.

Tapi tidur Sawitri tampak sangat lelap. Sekujur tubuhnya ditutup selimut. Berkali-kali Muntar berusaha membangunkan, tapi selalu gagal. Perempuan itu tak bergerak sedikit pun, kaku seperti kayu. Muntar menelan ludah, kecewa berat. Sudah lama ia tak berhubungan badan.
***
DUDUK di bangku pojok kantor guru, Nastiti terlihat tekun memeriksa hasil ulangan matematika murid kelas dua. Nastiti malas membawa pulang kertas-kertas hasil ulangan, khawatir justru tak bisa selesai. Para guru dan murid sudah lama pulang, membuat sekolah itu tampak sepi. Mungkin hanya tinggal penjaga sekolah dan penjaga kantin di belakang.

O, ternyata tidak! Palastra tergopoh-gopoh masuk kantor hendak mengambil beberapa buku yang tertinggal. Palastra kaget mendapati Nastiti masih di kantor. Nastiti pun tak kalah terkejutnya, saat matanya beradu dengan mata Palastra. “Bbelum pulang?” tanya Palastra gugup, masih belum hilang terkejutnya.

“Belum. Aku malas mengerjakan di rumah.”
“Mau kuantar sekalian?” Palastra memberanikan diri mendekat.
Entah, Nastiti mendadak gugup. Mungkin sejak tadi, saat beradu pandang. Tatap mata Palastra begitu dalam. Seperti menyimpan magnet, menggetarkan. Nastiti semakin salah tingkah melihat Palastra mendekati dirinya. Pikirannya sudah tak konsentrasi lagi dengan kertas-kertas hasil ulangan yang bertumpuk di atas meja. Kini Palastra sudah berdiri di depannya. Anggun. Berwibawa.

“Mau kubantu?”
Nastiti menggeleng. “Terima kasih. Sedikit lagi selesai…”
Tapi Palastra sudah duduk di kursi samping Nastiti. Nastiti merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Debar yang sama dirasakan oleh Palastra. Apalagi saat angin dari jendela meniup rambut Nastiti. Beberapa helai rambutnya melayang menerpa wajah Palastra. Harum dan lembut. Palastra tiba-tiba tak bisa menguasai diri. Ada sesuatu yang tiba-tiba menguap dari ingatannya. Ingatan seorang laki-laki yang empat tahun bertahan hidup seorang diri. Dan, Nastiti adalah perempuan cantik yang selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya.

Palastra benar-benar tak bisa menahan diri. Diraihnya tangan Nastiti yang lembut. Sudah lama ia tak merasakan kelembutan tangan seorang perempuan. Seperti tak sadar, Nastiti hanya diam. Tubuhnya bergetar gemetar. Palastra kemudian meraih wajah Nastiti, dihadapkan ke wajahnya. Ada rongga sunyi di mata Palastra. Ada lorong kelam di sana. Nastiti bisa melihat kesunyian dan kekelaman itu kini mulai menjalar tubuhnya, membuat dirinya hanyut, terlena, menikmati cumbu Palastra.

Tapi sejurus kemudian tiba-tiba Nastiti berontak melepaskan diri. Sesaat Palastra tersentak, kaget. Tapi Palastra segera sadar, telah membuat kekeliruan. Palastra merasa malu. Wajahnya berubah pucat penuh rasa bersalah dan penyesalan. Nastiti merasa lebih malu lagi, segera menyambar tas di atas meja lalu lari keluar.
“Nastiti, demi Tuhan, aku khilaf. Maafkan aku! Maafkan aku!” Palastra berteriak, tapi Nastiti terus lari. Pulang.
***
SAMAR dan kabur pandangan Nastiti saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Nastiti merasakan kepalanya pening, berdenyut-denyut. Peristiwa di sekolah barusan membuat dirinya sangat terpukul. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Dengan sisa tenaga yang ada, Nastiti menghampiri kamar depan, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno menyesal lupa tak mengunci pintu depan. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara orang yang baru masuk rumahnya. Wiguno jadi penasaran, tak yakin jika istrinya sudah pulang. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

“Sstt! Jangan cari perkara!” Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
“Kita belum selesai….” Wiguno menelan ludah.

“Edan, kamu! Mau berapa kali lagi?!”
“Sehari tiga kali, seperti minum obat…” Wiguno melucu.

Sawitri tersenyum. “Ya, sudah, sana lihat!”
Wiguno segera bersijingkat menghampiri kamar depan. Untung pintunya tak ditutup rapat. Ia cukup melongokkan kepalanya dan segera tahu di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wiguno menduga istrinya sedang tak enak badan. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ini untuk permainan terakhir kalinya. Siang ini. Yang ke empat! ***

Kota Kelamin

Kota Kelamin

Cerpen Mariana Amiruddin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu. Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***

untuk Hudan Hidayat yang ’takkan pernah sembuh’
Jakarta, 1 September 2005

Tentang Pengarang

Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Kajian Wanita Universitas Indonesia. Kini bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan
dan Manager Program Yayasan Jurnal Perempuan. Bukunya antara lain Perempuan Menolak Tabu, Beyond Feminist dan novel berjudul Tuan dan Nona Kosong bersama Hudan Hidayat.

Tragedi, Berbuah, Mutiara

TRAGEDI

                                              BERBUAH

                         MUTIARA

 

Desau angin musim menghujan menelusup lewat kisi-kisi jendela kamarku. Malam dingin tapi jiwaku gerah, kucoba memejamkan mata karena waktu sudah larut kini peristiwa kemarin melintas dibenakku. Di tempat di mana aku dilahirkan. Dulu aku dikenal sebagai seorang gadis cantik yang mempunyai tubuh tinggi semampai serta gadis soleh. Orang yang berada disekitar aku sangat mengagumi diriku karena tiap suara adzan berkumandang aku tak pernah absen ke masjid. Aku sangat senang bergaul dengan masyarakat di tampat kelahiranku itu.

Siang itu 22 Mei 2004 aku menghadiri undangan sahabatku yang lagi merayakan ulang tahunnya, suasana hari itu sangat meriah tanpa kekurangan suatu apapun. Tapi disisi lain seseorang yang sangat aku cinta en sayangi (Reno) kini gelisah dalam menanti kehadiranku. Reno sudah kemana-mana mencariku tapi aku tidak nongol-nongol juga. Tak lama kemudian Reno datang ke rumah sahabatku yang bernama Dini lalu mengetuk pintu “tok…tok…tok, assalamu alaikum…” kata Reno ingin mengetahui apa ada orang di dalam. “walaikum salam” sahut Dini dari dalam kamar yang sedari tadi berbaring karena ia lagi gak enak badan, “Siapa di luar” kata Dini dengan suara yang lemah,.”Aku Reno” jawab Reno dari luar rumah Dini. “Oh kamu Ren, masuk aja, maaf yach aku tidak bisa bangun karena lagi sakit, “ kata Dini melanjutkan pembicaraan setelah melihat Reno. Dini pun melanjutkan pembicaraan dan berkata pada Reno “Emang ada apa? Tumben kamu datang tanpa Nila di sampingmu. “Nah,…itu dia makanya aku ke sini karena mencarinya, ngomong-ngomong di ke mana yach, Din?” kata Reno dengan wajah cemas karena tidak menemukan Nila di rumah Dini. Ohh…, iya aku ingat sekarang kamarin Nila mengajak aku ke rumah temannya yang lagi ngrayain Ultahnya, tapi aku menolaknya karena keadaanku seperti ini en katanya sepulang dari sana dia akan langsung ke sini” jelas Dini pada Reno. Khirnya Reno menunggu aja kedatangan Nila di rumah Dini sambil berbincang-bincang. Reno berusaha menghibur Dini yang lagi berbaring saat itu. Tak lama kemudian ibu Dini ke luar membawa segelas teh hangat dengan sepiring kue Bolu buatannya “Silakan di makan kuenya dan jangan lupa tehnya diminum” kata ibu Dini pada Reno dengan ramah dia pun menghampiri Reno dan berkata “eh, nak Reno dari tadi yach….?” Yach enggak juga kog baru aja, belum ada 60 menit tante, semuanya tertawa mendengar perkataan Reno, “ach kamu Ren, klo ngomong pasti membuat tante tertawa”kata ibu Dini dengan memegang pundak Reno “nah itulah tante ok’nya Reno yang selalu membuat orang tersenyum”puji diri Reno di hadapan Dini dan ibunya.

Dari tadi mereka bertiga berbincang-bincang dengan riang, tapi dibalik semua itu Reno masih gelisah menanti kedatangan Nila).

Disela perbincangan mereka Reno pun bertanya pada Dini “Kira-kira pukul berapa yach Nila datang?” ntar lagi kog dia pulang dan akan terus ke sini, aku yakin dia tidak akan mengingkari janjinya padaku, jadi tunggu aja, ok’ ” jelas Dini pada Reno dengan penuh keyakinan. “Eh, Din, ngomong-ngomong sekarang waktunya kamu minum obat” kata Reno pada Dini sambil melihat obat yang dari tadi disiapkan ibunya. “Iya thanks banget atas peringatannya” kata Dini sambil tersenyum manis.

Setelah Dini minum obatnya meraka pun melanjutkan perbincangannya itu, di tengah keceriaan mereka bertiga lalu terdengar ucapan salam dari luar dan memanggil-manggil nama Dini. “Dini…Din…aku udah datang nich” teriak Nila dari luar tanpa mengetahui kalau Reno ada di dalam rumah itu juga. “Nah, itu khan suara Nila” sahut ibu Dini setelah mendengar suara teriakan itu.

“Yach, kamu masuk aja Nil, en cepat ke mari” teriak ibu Dini dari dalam sambil ngumpetin Reno di belakang pintu. Dengan kehadiran Nila Dini dan ibunya tersenyum-senyum melihat Nila yang langsung memakan kue yang ada di piring itu. “Loh, Nil kamu lapar yach dari perayaan Ultah temanmu itu” kata Dini tanpa mempedulikan lagi Reno yang diumpetin di belakang pintu itu. Beberapa menit Nila pun sadar dan berkata “Iya say, aku betul-betul lapar nich abizt di sana tadi rame banget Sampe-sampe aku malu ambil kue lagi, he…he…he”dan aku berkata lagi “eh, nomong-ngomong tadi kamu ada tamu special yach,cieeee….sambil ngolokin Dini di depan ibunya en melihat secangkir teh manis.” “Iya, tadi ada tamu istimewa loh, tapi bukan tamu istimewanya Dini melainkan tamu itu yang sangat mengistimewakan kamu, Nil” Ujar ibu Dini dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman nanti diantara mereka bertiga. “Loh, siapa tante” tanyaku pada Dini dan ibunya yang penuh rasa bahagia karena ternyata selama ini ada juga orang yang sangat mengistimewakan aku, “Tapi orang itu siapa sich tante?” tanyaku pada ibu Dini “kamu penasaran yach, en kalau orang itu ada di depan kamu gimana?” tanya ibu dini padaku yang masih penasaran banget. “Yach, dengan senang hati tante aku menemuui dia” jawabku dengan cuek tapi masih penasaran juga sich…”Kalau kamu mau bertemu orang itu coba kamu lihat ke arah sana”kata ibu dini sambil menunjuk ke arah pintu tempat Reno diumpetin. Aku pun melihat sesosok tubuh yang agak tinggi berkulit putih yang ada di balik pintu itu. “Kamu Ren, kog kamu ada di sini?” tanyaku pada Reno sambil malu-malu karena tadi aku langsung makan kue itu yang ternyata untuk dia. “Iya, kenapa Nil, kamu heran yach aku ada di sini? Kata Reno padaku lagi sambil melangkah mendekati aku. “Nil, dari tadi aku mencari kamu kemana-mana, tapi aku tak menemukanmu jadi aku ke sini aja tuk mencarimu. Reno beranjak dari tempat duduknya lalu memanggilku ke luar supaya perbincangan kami tidak kedengaran oleh Dini ama ibunya.

“Ada apa Reno…” aku bertanya dengan perasaan gundah. “Nggak ada apa-apa kog’ kamu jangan cemas gitu donk sayang” Rayu Reno saat melihat wajah aku yang penuh kebingungan. Hari ini adalah pasti hari kebahagiaan kami berdua. Kata Nila dalam hati “Ren, sebenarnya ada apa sich, kamu jangan membuat aku penasaran nich” tanyaku lagi pada Reno yang masih tersenyum-senyum di depanku. “Nil, hari ini merupakan hari kebahagiaan cinta kita yang selama ini kita bina bersama yang penuh dengan suka duka” kata Reno pada Nila dalam mengawali pembicaraannya itu. “Ini merupakan kejutan bagi kita berdua dari orang tuaku, jadi kuharap kamu juga bahagia. Nila, sebentar malam orang tuaku ada rencana mau ke rumahmu” kata Reno ada apa dia mau datang ke rumahku? Cetus Nila memotong pembicaraan Reno. Reno berusaha menenangkan pikiran aku. Nila maksud orang tua aku tuch baik, dia ingin melamar kamu untukku, kamu setuju khan…? Jelasnya padaku.  Dengan rasa senang dan haru mengelilingi ruangan itu. Aku mengulang apa benar apa yang kau katakan itu, Ren.Tegasku padanya dan Reno pun membalas dengan senyuman manis untukku dan memeluk tubuhku yang kecil ini dengan penuh rasa sayang. Setelah pembicaraan kami selesai, kami pun masuk ke kamar untuk menemui Dini yang lagi terbaring di spring bednya itu dan ibunya yang lagi menunggui anak semata wayangnya yang sakit itu. “Tante, Dini, kami pamit dulu yach karena hari sudah sore, lekas sembuh yach sobatku” kataku pada mereka berdua. “Iya, hati-hati di jalan yach” nasehat ibu Dini pada kami yang aku anggap seperti orang tuaku sendiri.

▼▼▼

Sebenarnya ini merupakan surprise bagiku karena kemarin sudah ada orang yang meyampaikan hal ini pada orang tuaku. Jadi entar malam pukul 20.00 WITA kepastiannya. Mmmh….waktu yang kunantikan kini tiba saatnya. Ternyata apa yang dikatakan Reno siang tadi benar. Kedua waki orang tuanya itu datang dan mengulurkan tangannya untuk menekan bel rumah. Saat itu hatiku sangat deg-degan dan terkejut ketika pintu itu sudah terbuka. Sebuah senyum mengembang dari sosok yang membukakan pintu, senyuman itu berasal dari orang tuaku sendiri. Kedua tamu itu pun dipersilakan masuk dengan penuh rasa hormat dari keluarga kami.

Saat itu aku masih ragu dengan keputusan yang akan diambil orang tuaku. Ternyata apa yang selama ini kami harapkan kini menjadi kenangan pahit dalam hidupku. Usaha yang dilakukan orang tua Reno untuk menjadikan aku manantunya itu tidak mendapat kepastian. Setelah orang itu pamit pulang, ibuku pun langsung menemui aku di kamar. Dengan rasa ingin tahu aku tak segan-segan lagi untuk bertanya pada ibu tentang keputusan yang diambil ayahku tadi. “Ibu, bagaimana keputusannya tadi?  Sembari ibuku menjawab itu belum ada kepastiannya, nak…karena ini yang dipermasalahkan adalah jujurannya aja yang mana ayahmu menginginkan tiga puluh juta rupiah, padahal itu melebihi dari kemampuan pihak lelaki.”. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi kecuali air mata yang berlinang membahasahi pipiku yang tembem ini.Nil, kamu yang sabar yach, pasti masih ada lelaki yang lebih baik dari Reno yakinlah dalam hati bahwa Allah akan memeberikan kamu yang terbaik nantinya” cetus ibu membangkitkan semangatku yang hampir putus asa. “ Tapi kenapa harus aku yang mendapatkan masalah serumit ini, bu’” kataku dengan penuh rasa kesedihan. Aku pun ditinggal ibu sendiri di kamarku dengan tujuan supaya aku merasa lebih tenang. Dan keesokan harinya aku dipanggil makan oleh kakakku tapi perasaan lapar itu nggak ada samasekali akhirnya ibu akulah yang datanguntuk membujukku. “Nak, sebenarnya ayahmu menolak lamaran itu karena beberapa tahun yang lalu kata-kata yang pernah dilontarkan ibunya Reno pada keluarga kita itu masih terbayang-bayang di pikiran ayahmu.” Ibu pun melanjutkan ceritanya itu padaku mulai dari A sampai Z. Aku hanya  aku hanya menghembuskan nafas untuk melegakan perasaan sedihku setelah mendengarkan penjelasan ibu padaku. “Nah, kamu uda tahu semuanya khan, jadi sekarang kamu udah ngerti alasan ayahmu itu. Sekarang kamu ikut makan dulu bersama kami biar kamu ga sakit” bujuk ibu padaku lgi. “Iya dech bu’,aku akan makan tapi nantilah” jawabku pada ibu.

Karena aku belum menghampiri mereka di meja makan, ibu datang lagi ke kamarku. Aku merasa bahwa hanya ibukulah yang dapat mambantu aku sekarang menyelesaiakan masalah kesedihanku in,akhirnya aku angkat bicara lagi di depan ibu “Bu’ aku sadar akan apa yang pernah ayah dan ibu alami tapi kanapa sich baru kali ini aibu ceritakan yang sebenarnya pada aku, kenapa bu’ apa ini semua ada unsur dendam pada keluarganya yang telah melukai perasaan ayah dan ibu?” Ibuku saat itu tidak berkata apa-apa lalu meninggalkan ruang itu, hanya air mata kesedihan yang ibu lontarkan dan kata yang tak nyaris aku dengar dari mulutnya bahwa kami tidak pernah ada niat untuk dendam pada mereka.

Beberapa bulan kemudian aku memberanikan diri keluar dari rumah dan menuju ke toko buku sambil mencari-cari komik kesayanganku, tiba-tiba sesosok pria menghampiriku yang membuat hatiku hampir copot “Ach…Reno…” kataku (sambil meletakkan komik yang kubuka itu dan mengerutkan jidat).Aku bertemu dengan Reno tanpa sepengatahuan keluargaku. Suasana senang bercampur gundah menghiasi ruangan itu.

“Reno!…”

Reno pun masih terpukau juga ketika aku berdiri di depannya dan dia hanya melemparkan senyuman maniesnya padaku tanpa berkata apa-apa, akupun membalas senyumannya dengan yang lebih maniez.

“Slama ini aku gak pernah lihat kamu Nil, kamu baik-baik aja khan…? ”Tanya Reno padaku dan mengulurkan tangannya seperti ingin merangkul tubuhku yang kecil ini. “Yach aku baik-baik aja kog.” Jawabku padanya dan kamu sendiri gimana,Ren?” tetap diam menatap wajahku sampai aku merasa grogi. “Heiii…kog kamu diam aja sich” kataku (sambil menepuk pundaknya) “Ach, enggak aku masih terkesima melihat kecantikanmu dan yach…ginilah keadaan aku sekarang selama kita rundung kesedihan, namun kita tidak boleh larut dalam kesedihan itu” nasihat Reno padaku.

“ya ampun, Nil kamu banyak berubah” kata Reno memulai pembicaraan sambil menatapku lagi. “Ach, nggak kog” cetusku pada Reno. “Nil, kamu jangan larut terus dalamkesedihan, kamu juga harus pikirkan kesehatanmu” lanjut Reno menasihatiku setelah beberapa kali memandang tubuhku yang agak kurusan dibanding sebelumnya. Tanpa sadarkan diri aku lupa akan komik yang ada ditanganku, tiba-tiba aku meletakkan komik itu di tempanya semula kami pun melangkah keluar untuk mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol serta aman dari keluargaku.

Beberapa menit kemudian kami mendapatkan tempat yang aman aku dan Reno duduk berhadapan sambil menikmati juice tanpa semangat. Kami hanya diam sejenak dan melanjutkan pembicaraan. “Jadi kamu anggap ini masalah sepeleh aja, gitu” Kata-kata itu keluar dari mulutku yang udah kesel ma reno yang menganggap itu adalah maslah yang sepeleh. “Bukan, bukan  gitu maksudnya, tapi aku dan orang tuaku ada cara untuk kita supaya bersatu lagi eperti dulu.” Jelas Reno padaku. “maksud kamu…???” Dengan wajah penasaranku. Aku ingin membawa kamu pergi jauh dari orang tua kita, di sana kita akan hidup bahagia dan suatu saat orang tuamu akan merestui juga hubungan kita, bagaimana kamu mau kahn…? Bujuk Reno padaku. Pada saat itu pula aku merasa kebingungan memikirkan kata-kata Reno. “baiklah aku akan pikirkan dulu” cetusku. Tapi Reno hanya bisa memberikan aku waktu 24 jam untuk bisa memberikan suatu keputusan. Kalau mau kita akan pergi jauh secepatnya kamu jangan khawatir kita akan berangkat dengan bantuan orang tuaku dan kita akan bertemu di suatu tempat dan kamu tunggu aja nanti aku akan jemput kamu di sana, bagaimana” “Okey, klo gitu aku akan menunggu jawabanmu secepatnya.” Lanjut Reno menjelaskan rencananya itu. Beberapa jam kemudian Reno pamit padaku dan menuju ke rumah Udin sahabatnya, dia pun beranjak dari tempat duduknya dan aku juga akan kembali ke rumah.

Aku masih terkesima

Melihat kecantikanmu

Saat ini

Setiba di rumah aku langsung masuk kamar tanpa memperdulikan siapa yang duduk di ruang tamu itu. Ibuku pun datang menghampiriku di kamar dan berkata “Nil, kamu dari mana aja sich…datang-datang dengan wajah yang kusut sperti itu, nak?” ach nggak kog bu’ aku hanya cape’ dari rumah Dini. Cetusku pada ibu dengan rasa bersalah karena telah membohonginya. Kata-kata Reno tadi masih membuat aku bingung dalam memilih. Keesokan harinya aku sudah mempunyai keputusan, tapi aku tidak ingin menyampaikan langsung di depannya melainkan hanya secarik kertas yang melayang untuk Reno.

                Lembayung, 01 Juni 2004

Reno, sayang…..!

………………………………………………………………

………………………………………………………………

………………………………………………………………

Tentang pertanyaan kamu yang kemarin aku udah

punya jawabannya yakni aku tidak bisa ikut dengan

apa yang telah kamu rencanakan itu. Aku tidak

mau membaut keluargaku malu karena

cemoohan tetangga…………………………………………

………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………..

………………………………………………………………………………….

Dan aku ingin melanjutkan studiku di salah satu Universitas

di Sul-Sel.

                                                                                  Dari yang menyayangimu,

                                                                                 Nila Ulandari

Dengan keputusan yang aku ambil, akhirnya Reno pun enggak jadi meninggalkan kampung halaman kami.

Beberapa bulan kemudian pertemuan dan komunikasi yang salama ini terjalin kini membuat aku menghindari dan berusaha untuk melupakannya demi keluargaku aku rela kehilangan dirinya. Dengan niat untuk melupakannya aku harus memilih jalan untuk melanjutkan studiku di  salah satu Universitas di Sul-Sel.

Tak terasa tiga bulan lamanya aku ngekost di sana, tiba-tiba aku teringat akan Reno disaat aku sendiri. “Reno…mengapa kita harus mengalami semua ini” kataku dalam hati yang sedang meratapi nasibku ini.

▼▼▼

Seperti tahun-tahun sebelumnya semua mahasiswa sibuk dengan buku-bukunya, begitu pula dengan hari-hariku selalu dipenuhi dengan tugas-tugas yang bertumpuk. Di tengah kesibukanku dalam mengerjakan tugas tiba-tiba aku dikejutkan sesosok pria yang tidak asing lagi di mataku. “Reno….apa aku nggak bermimpi….(kataku disaat melihat Reno yang masih berdiri  di depan jendela dekat aku mengerjakan tugas yang harus dikumpul secepatnya, mengingat dosenku itu orangnya disiplin banget). “Iya, kamu nggak bermimpi….aku jauh-jauh ke sini karena aku merindukanmu” ujar Reno.

“Ayo masuk jangan berdiri di situ” kataku sambil mempersilakan ia masuk rumah. Sambil melangkah masuk Reno pun berkata “Iya nich dari tadi kaki aku pegel berdiri tanpa dipersilakan masuk”. “Abizzz, kamu sich nggak kasi kabar dulu kalo kamu mau ke mari, tapi nggak apa-apalah.” Cetusku lagi. Kami pun tertawa dengan penuh kesenangan seperti nggak pernah ada masalah dalam keluarga kami, semuanya berjalan santai aja.

“Nil, dari tadi aku perhatikan sepertinya kamu udah berubah drastis, aku yakin kamu udah punya peggantiku di hatimu” kata Reno. Aku hanya menunduk sambil memperhatikan sebotol teh sosro yang ada di depanku. “Bukan” lirihku sambil mempermainkan pena yang ada di tanganku. “Tapi ini benar-benar udah ngelupain aku, bahkan mungkain kamu nggak ingin mengenalku lagi, buktinya kau pergi meninggalkan tanpa kata dan bahkan selama ini kamu nggak pernah telpon aku ataupun SMS. Ataukah kamu inginkan hubungan kita berakhir saat ini, iya?” Wajah Reno terlihat lebih kesal setelah mengeluarkan kata-kata itu di depanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa di depannya, tapi dalam hatiku ini berkecamuk ingin mengatakan kata putus itu, namu aku tank sanggup juga karena aku masih sayang padanya. “Apa benar kamu inginkan kita P U T U S saja begitu” Reno mengulangi pertanyaannya dengan lebih hati-hati.

“Putus katamu, kamu jangan bercanda dech Ren…?” aku angkat bicara saat mendengarkan kata putus yang kedua kalinya keluar dari mulut Reno. Reno minum teh botol sosro yang ada di depannya. Dan aku hanya menatap wajahnya dalam-dalam.

“Aku masih tercengang seakan-akan ada mendung yang menghiasi sepasang mataku.” Bisa aja untuk menghindari linangan air mataku Reno pun mengalihkan pembicaraan ke arah pendidikan yang aku tekuni sekarang.

“Bagaimana dengan kuliahmu, lancar-lancar aja khan? En tetap selalu dapat predikat A?” kata Reno. “Yach semuanya lancar-lancar aja walupun dengan tugas yang bertumpuk seperti saat sekarang ini. Enggak semuanya dapat predikat A, tapi masih bagus walaupun sedikit menurun, entah mengapa akhir-akhir ini aku malas dengan urusan kuliah…aku lebih banyak diam di kampus dan….”kataku (tertunduk karena merasa sedih).Reno menatap dan tau klo aku mengalami kesedihan.

“Dan apa…, ataukah kamu sedih karena aku datang?” Tanya Reno secara antusias. “Bukan itu, tapi aku bingung memikirkan hubugan kita yang tetap berjalan padahal kita tau bahwa orang tuaku tidak merestui hubungan kita, jdi aku pikir klo hubungan kita cukuplah sampai di sini saja sesuai apa yang kamu tanyakan sedari tadi padaku. Dan aku semoga kamu mendapatkan pendamping yang lebih baik.” Lirihku pada Reno.

“Baiklah kalo itu emang maumu en yang meupakan keputusanmu terakhirmu.” Kata Reno lalu permisi padaku untuk meninggalkan ruangan itu dan melangkah ke arah Jupiter birunya yang dari tadi diparkirnya itu.

Aku hanya bisa memandang keergiannyadengan penuh rasa kurang semangat karena aku telah memutuskan orang yang selama ini ngertiin en menyayangiku. Dengan lajunya Jupiter menghilang dipelupuk mataku dan aku pun melangkah ke kamar untuk melanjutkan lagi tugas-tugasku yang masih menumpuk. Tak lama kepergian Reno datanglah Dian mengetuk-ngetuk pintu kamarku, tok..tok…tok (Dian mengetuk pintu kamarku) “ayo masuk aja pintunya anggak terkunci kog” sahutku dari dalam kamar. Dian menghampiriku dan bertanya “Kenapa aku lihat Reno cepat pulang dan wajah kamu yang kusut gitu, ada ap sich dengan kalian lagi, beranteeem…atau kamu nyesel karena dia cepat pulang?” “Kamu jangan ngaur menilai wajahku ini, nah coba kamu lihat wajahku cantik khan (berusaha tersenyum)” kataku untuk menutupi kesedihanku di depannya, tapi semuanya itu  tidak berhasil karena Dian tetap melihat tak biasanya aku sperti itu. “Kamu memang cantik, Nil tapi dengan usahamu untuk tersenyum itu tersimpan kesediahan yang mendalam” cetus dian padaku. “Iya, tadi aku mutusin reno padahal dia jauh-jauh datang ke mari hanya untuk mengobati rasa rindunya padaku. Aku harus melupakan dia walaupun itu sulit bagiku. Aku mutusin hubungan itu karena buat apa dipertahankan terus jika orang tuaku enggak merestui hubungan kami, jadi buat apa lagi…” kataku pada Dian yang serius mendengarkan keluhanku.

“Dia sakit hati karena keputusanku tadi, dia layak membenci aku” lanjut kataku pada Dian.

“Kamu sich mutusin dia begitu aja tanpa alasan yang ….” Kata Dian

“Tentu saja dengan alasan yang jelas donk, khan tadi aku uda katakan padamu kalo buat apa lagi dipertahankan jika enggak ada restu dari orang tuaku” jawabku dengan penuh kekesalan pada Dian.

“Oh.. gitu, jadi kamu udah yakin dengan keputusanmu itu? Yach sudahlah kalo itu adalah keputusan yang terbaik. Sekarang biar kamu enggak sedih bagaimana kalo kita keluar dulu jala-jalan ke swalayan biar enggak muyek di kamar.okey” Ajak Dian melanjutkan perkataannya lagi.

▼▼▼

Keesokan harinya aku teringat dengan kenang-kenangan bersamanya, tapi merupakan hal yang indah kalo direnungkan lagi. Yach itu hanya masa lalu kami saja. Aku yakin bahwa orang tuaku enggak menerima lamaran itu krena masih dilema dengan orang tuanya apalagi saat itu Reno belum punya pekerjaan yang jelas yang semuanya masih bergantung pada orang tua. Masalah itupun menjadi batu sandungan

Sekitar pukul 10.00 WITA Dian datang lagi ke kamarku karena kebetulan hari itu enggak ada dosen yang masuk.

“Nil, apa kamu enggak nyesel dengan dengan keputusanmu itu?” tanya Dian.

Aku tersenyum saja, ach andaikan waktu bisa kembali….” Kataku.

“Jadi kamu nyesel yach… maksudku kamu masih mencintai Reno khan…?” kata Dian.

“Entahlah, aku hanya tertunduk dan semuanya telah berlalu.” Kataku.

“Kamu sungkan dan enggan bicara padaku yach…karena aku akrab juga dengan Reno atau kamu takut kalo aku sampaikan semua ucapanmu itu pada Reno. Iya khan…? Kata Dian sambil bernapas panjang.

“Dian seandainya kamu tahu yang sebenarnya…” kesahku.

“Tau apa…bukankah kemarin kamu udah ceritakan semuanya padaku?” kata Dian.

“Itu belum seberapa, sebenarnya aku masih mencintainya. Dia masih selalu hadir di pikiranku. Oh…tidak aku harus berusaha melupakannya” Ujarku pada Dian.

“Nila……sambil mengampiriku, kamu harus tau kalau kemarin dia ke sini karena dia sangat mencintaimu, dia juga selalu memikirkan kamu.” Kata Dian.

“Kog kamu tahu…?” tanyaku

“Kamu jangan salah faham dulu, semalam dia telpon aku katanya demalam kamu enggak angkat telponnya, yach…?”tanya Dian padaku.

“Kamu harus tahu juga yang sebenarnya. Dulu ia pernah menulis surat untukmu tapi entahlah kenapa enggak jadi diberika padamu. Dia terpuruk dan kecewa banget dengan keputusanmu itu. Kamu amat berarti dalam hidup dia, Nil..” jelas Dian

“Kamu jangan ngarang, sok tau aja kamu….uuuh” kataku sambil tertawa dan melemparkan bantal ke arahnya.

“Bener aku engak ngarang kog, aku udah nganggap dia sebagai sahabatku juga, aku juga bisa merasakan kesedihannya itu. Dulu saat kalian masih bersama aku juga merasakan kebahagian.” Cetus Dian lagi.

“Dulu perbedaan yang ada diantara kalian itu bisa disatukan, kesalahpahaman bisa diluruskan, tapi mungkin semua ini sudah enggak bisa lagi diselamatkan karena kau udah mengambil suatu keputusan.” Ujar Dian

“Yach, itu sudah tak mungkin lagi diperbaiki.” Ucapku serupa kesedihan yang mendalam.

“Nil, sebenarnya masih ada yang ingin aku sampaikan padamu sesuai dengan apa yang disampaikan Reno padaku, tapi aku enggak bisa melihat kamu sedih lagi hanya karena dia.” Kata Dian menghela.

“Ada apa lagi sich…kamu jangan membuat aku penasaran aja.” Sahutku

Dian pun ngolokin aku “Cieeee….. penasaran yach. Nah itu berarti kamu masih cinta juga ma Reno.” Emangnya ada apa sich…?” tanyaku lagi.

“Gini Nil, saat Reno nelpon dia enggak lupa nanyain keadaan kamu. Oia Nil, dia ingin sampaikan kalo bulan depan Reno akan merried dengan seorang wanita pilihannya sendiri.” Hatiku senang campur sedih mendengarkn cerita Dian.

“Syukurlah, kalo gitu.” Kataku dengan suara yang lantang untuk menutupi kesedihan itu.

“Dengar Nil, Dian mendekati aku. “ Reno enggak bisa ngelupain kamu! Ia juga masih mencintaimu.”

Kini wajahku kian memerah mendengarkan semua cerita Dian tentang Reno. “Yach mau diapalagi nasi sudh jadi bubur” sambil menarik nafas panjang.

Tak lama kemudian Nila pun pamit untuk ke kamarnya lagi setelah semua pesan Reno disampaikan padaku.

Dengan kesendirianku lagi aku hanya bisa merenungi kata-kata Dian tadi. Mudah-mudahan dengan pilihannya itu dapat membuat dia bisa melupakan akudan hidupnya bahagia. Entah mengapa air mata ini tidak bisa dibendung lagi.

Hampir setahun setelah pernikahan itu berlangsung, pendidikanku dibangku perkuliahan selesai juga. Dan aku mulai meniti karirku sebagai guru di salah satu sekolah menengah pertama.

Malam yang penuh kegerahan membuat tubuhku gelisah. Tiba-tiba hand phone yang ada di sampingku berdering, tanpa aku hiraukan karena aku tau bahwa nomor yang menari-nari di layar Hand phone it adalah nomor Reno. Tanpa aku hiraukan SMSnya pun masuk di Hand Phoneku. Hatiku sangat terkejut membaca SMS itu karena asalnya dari Reno. Dia menanyakan lagi kabarku dan membujuk aku supaya menjalin hubungan lagi dengannya yang sudah lama menghilang dalam kehidupanku karena pilihannya itu tidak dapat memberikan kebahagiaan.

Itu enggak mungkin terjadi karena aku enggak ingin menjadi orang ketiga dalam keluargamu.

En, aku pun udah punya orang yang lebih ngertiin aku.

Dengan rasa kesel aku pun membalas SMS yang datang darinya.

Pesan yang datang darinya                                               akhirnya dengan karier yang aku

Tidak pernah aku pedulikan                                            tekuni itu membuahkan hasil yang

Lagi. Aku hanya ingin pusat                                           manis, yang bisa membuat keluar-

Kan perhatianku pada tang-                                            gaku tersenyum lagi terutama

gung jawabku sebagai guru.                                            kedua orang tuaku. Karena cita-

Dengan begitu aku bisa lepas                                          cita jadi PNS terkabul. Kini trage

dan melupakan semua kenangan                                      di yang bagaikan pahitnya empe-

pahit dan manis itu bersamanya.                                     du berbuah mutiara yang berkilau.

▼▼▼

▼▼▼

IDENTITAS PENULIS

Nama                                       : Hastuti, S. Pd

Tempat tanggal lahir               : Pekkabata, 22 April 1982

Jenis Kelamin                          : Perempuan

Alamat                                                : Jl. Talitti Utara No. 140 Pekkabata.

Kec. Duampanua

Kab. Pinrang

Sul-Sel 91253.

Riwayat pendidikan                :

SD    : 1990-1996

SMP : 1996-1999

SMA : 1999-2002

S1     : 2004-2008

Pekerjaan                                 : Guru

Agama                                     : Islam

Kewarganegaraan                   : Indonesia

Suku                                        : Bugis

Anak ke                                   : Delapan

Jumlah Saudara Kandung       : Delapan

Suami                                      : Aznhyl Jimmy DJ, S.Pd.

Nama Orang Tua :

Ayah          : H.Abd. Muis

Ibu              : Hj. St. Radiah

Hand Phone                            : 081 355 295 410

Telp. Rumah                            : (0424) 3913146